Bukan Antara Aku. Dan Kamu.

Melangkah tanpa diadili, tanpa dihakimi oleh makhluk bernama manusia. Karena pada Tuhanlah surga dan neraka berada, bukan di tangan-tangan manusia. Kita sama-sama berasal dari tanah. Lantas kenapa harus melangit? Merasa paling benar—seakan tak bercela, tanpa salah, tanpa dosa.

Aku membalut tubuhku, karena patuhku pada Tuhanku. Karena kewajibanku sebagai seorang wanita dalam agamaku. Bukan untukmu. Bukan untuk “pencitraan”-ku (untuk apa juga? Toh aku tidak membutuhkan itu). Bukan syarat untuk mencari suami (duh!). Tidak. Aku melakukannya untukku. Ini bukan tentang aku dan kamu, atau dia, atau mereka, atau siapapun. Ini urusanku dan Tuhanku.

Kalau ada sifatku, tingkah lakuku yang tidak sesuai dengan kain di kepalaku…aku tidak tahu harus berkata apa. Aku terlahir seperti ini. Bicaraku tidak bisa lemah lembut. Aku berisik, aku bicara lantang (mungkin kadang agak sedikit lancang—sedikit). Aku terbiasa menatap langsung mata lawan bicaraku, entah perempuan atau lelaki. Aku tidak bisa diam. Aku bukan gadis kalem. Bukan wanita pendiam. Aku pengguna celana jeans dan kemeja dan sepatu kets. Tapi, aku juga wanita yang sedang berproses menjadi lebih baik, versi lebih baik dari diriku. Yang sedang belajar lebih patuh pada Tuhaku.

Apakah salah apabila aku bersujud lima kali sehari, bersimpuh di malam hari, merapal kitab suci sebelum tidur, namun di pagi hari aku memulai hariku dengan hentakan musik yang mereka bilang “lagu dugem destak destak”?

Tidak ada istana yang dibangun dalam satu malam.

Soal berubah, aku masih mencoba keluar dari kepompong. “Kulitku” mungkin sudah berbeda dari aku yang kau temui beberapa tahun ke belakang. Namun, aku sadar sesadar-sadarnya, masih banyak bagian di dalam, yang paling dalam dari diriku yang perlu aku rombak habis.

Jangan paksa aku untuk buru-buru menunjukkan hasilnya. Seandainya kau ada di posisiku saat ini, pasti kau akan paham betapa sulitnya —atau betapa lemahnya—aku untuk menjadi versi lebih baik. “Aku v 2.0”. Terseok-seok, kawan. Percayalah, semuanya lebih berat saat kau menjalaninya sendiri.

Jika saat ini aku menunduk, bukan karena aku takut, segan, atau mempedulikan apa kata mereka. Bukan karena aku takut kau akan menghakimiku dengan segala tuduhan.

Aku menunduk melihat raporku yang merah. Bagaimana tangan, mulut, kaki, telinga, semua anggota tubuhku kelak akan bersaksi pada Tuhanku jika nanti Dia memanggilku?

One Reply to “”

  1. aku komen dari tulisan ini bukan untuk menghakimi siapa pun, karena memang aku berlangganan (kayak koran) dan saat ini pun diriku dilanda pusing yang sangat karena membaca rekening koran.

    Like

Leave a comment